Cookie [false/7]

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda.

Formulir Kontak

Dark mode Logo

Dark mode Logo

Default Image

timeago

Related Posts

×

Jeda Kemanusian atau Dialog tidak menyelesaikan masalah Papua menuju Perundingan, bukan sarana baku…


Jaringan Damai Papua(JDP) adalah kelompok fasilitator terlatih yg menghimpun sejumlah aktifis masyarakat sipil dari lingkungan dosen, peneliti, mahasiswa, LSM, organisasi keagamaan, organisasi berbasis etnis, suku, adat dan kelompok strategis lainnya, untuk kerja sama secara sukarela menghubungkan berbagai pihak yang bertikai dan secara umum membantu masyarakat Papua dan Pemerintah Indonesia mempersiapkan dialog Jakarta- papua atau istilah baru yang di sederhanakan adalah jeda kemanusiaan.

Konsep Dialog adalah Idenya Almarhum Pater Dr. Neles Tebay, Pr yang adalah tidak lain Rektor Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Jayapura dan di bantu oleh Dr. Muridan S. Widjojo, Kordinator LIPI dan penulis Buku Papua Road Map YOI, LIPI, TIFA, 2009.

Pater Dr. Neles Tebay, Pr dan Dr. Muridan S. Widjojo, adalah  penggagas Ide Dialog Jakarta Papua, dalam rangka  mencari format untuk menyelesaikan masalah politik Papua atas  konflik berkepanjangan namun sayangnya kedua Doktor tersebut telah meninggal akibat sakit yang tidak jelas.

Setelah kedua doktor jadi almarhum, Ide tersebut dimanfaatkan oleh beberapa oknum strategis  dari luar maupun dari dalam, pemerintah Indonesia dalam hal ini melalui lembaga Komnas HAM RI dan lembaga Internasional atau LSM lainnya untuk mewujudkan Dialog Jakarta-Papua atau yang lebih rendah lagi yaitu Jeda Kemanusiaan.

Inisiatif Komnas HAM RI berusaha untuk melibatkan Para pihak yang bertikai, karena memandang perlu untuk mewujudkan komitmennya guna  menciptakan kondisi yang kondusif bagi tahapan proses perundingan damai, melalui pelaksanaan garansi kemanusiaan berupa jaminan keamanan dan imunitas, perluasan aktor dalam proses penjajakan perundingan damai (Dialog)

Selanjutnya Komnas HAM bersama para pihak bertemu untuk  melakukan Nota kesepahaman para pihak tertanggal 15 juni 2022 dan pertemuan kedua di jenewa swiss tertanggal 18-19 agustus 2022 dan selanjutnya tanggal 10-11 November 2022, melakukan pertemuan yang sama di tempat yg sama dan berkomitmen untuk melakukan Nota kesepahaman tentang jeda kemanusiaan bersama.

Lalu lahirnya namanya Jeda kemanusiaan Fersi Komnas HAM RI, Jeda Kemanusiaan adalah penghentian Sementara permusuhan dan pertempuran antara pihak yang terlibat konflik  bersenjata.

Di sepakati dengan para pihak bahwa melakukan jeda kemanusiaan pada lokasi tertentu yang disepakati bersama, dengan tujuan untuk memberi ruang kepada tim jeda kemanusiaan agar berfokus pada tiga upaya yaitu pertama pemberian bantuan keamanan kepada warga sipil yang terjebak dalam wilayah konflik bersenjata,  yang kedua  memastikan pemenuhan hak-hak dasar para tahanan dan narapidana akibat konflik bersenjata, yang berikut  penghentian permusuhan dan kekerasan. 

Dalam rangka mewujudkan jeda kemanusiaan perlu sosialisasi,  komunikasi dan mobilisasi melibatkan para pihak yang berkepentingan di antaranya Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Gereja Papua (DGP), oknum yang terlibat dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), dan organisasi gerakan dan juga LSM lainnya serta lembaga terkait  Pemerintah Republik Indonesia.

Kembali ke konsep Dasar Dialog Jakarta- Papua, Dialog adalah media atau cara untuk menyelesaikan berbagai masalah yang sedang di hadapi, jadi dialog bukan tujuan, dialog adalah proses awal menyepakati akar masalah dan cara menyelesaikannya, jadi dialog bukan tujuan akhir dari perjuangan, dialog adalah tempat bertemunya para pihak yang bertikai, melalui perwakilan-perwakilan yang di tunjuk oleh Para pihak, dalam dialog akan ada fasilitator, mediator, atau peninjau, tergantung pada kesepakatan para pihak.

Pertanyaannya Kenapa Dialog Jakarta-Papua di paksakan oleh para pihak? Karena masalah Papua telah berlangsung lama, tampah ada jalan keluar, pada saat itulah dialog di perlukan sebagai langkah baru untuk mencari upaya penyelesaian. karena para pihak dianggap jalan kekerasan tidak menyelesaikan konflik papua, implementasi UU NO. 21 Tahun 2001 tentang otsus di papua gagal mensejahterakan orang papua, pemerintah tidak konsisten menerapkan UU Otsus di papua, orang papua semakin tidak mempercayai pemerintah Indonesia, dukungan Indonesia terhadap pemerintah Indonesia semakin menurun. 

"Dengan demikian Dialog bukanlah 
hasil akhir melainkan sarana dan kesempatan untuk pertukaran dan pemahaman timbal balik tentang kepentingan para pihak, dan juga tempat menyampaikan aspirasi, kekuatiran, harapan, serta di dukung oleh masyarakat Papua, tokoh-tokoh dan para pihak lainnya,  bukan sarana  saling tipu."

Dialog sama dengan berkompromi, pihak yang mau dialog adalah pihak yang mau kompromi, pihak yang tidak mau kompromi adalah pihak yang gagal mencapai kesepakatan dalam dialog, hasil dialog selalu di sebut sebagai kesempatan dan komitmen bersama untuk menjalankannya oleh karena itu dalam dialog tidak dikenal pemaksaan. Hasil dialog bisa juga di sebut, hasil "menang-menang", atau "kalah-kalah"

 Penulis Oleh admin

Posting Komentar