Cookie [false/7]

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda.

Contact Form

Dark mode Logo


Default Image

timeago

Related Posts

×

Pemekaran Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua: Sama Sekali Tidak Ada Niat Baik oleh Jakarta

No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal Posted by:  Copyright ©(...) "sumber" Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com










Pemekaran wilayah di Papua selalu menjadi topik yang sarat kontroversi. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai kebijakan yang mengarah pada pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Namun, langkah ini tidak mencerminkan niat baik, melainkan menimbulkan masalah baru bagi masyarakat Papua.

Tujuh Wilayah Pemerintahan Sudah Diklaim oleh ULMWP

Peta politik di Papua telah lama diwarnai oleh klaim-klaim yang berbeda. Pemerintah Sementara Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) telah mengidentifikasi tujuh wilayah pemerintahan yang berbasis pada struktur adat dan budaya lokal. Wilayah-wilayah ini mencakup Lapago, Meepago, Animha, Bomberai, Domberai, Saireri, dan Mamta/Tabi. Nama-nama ini memiliki akar yang kuat dalam sejarah, filosofi, dan kehidupan masyarakat adat Papua.

Namun, ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuk memekarkan provinsi-provinsi baru di Papua, nama-nama ini diabaikan. Contohnya adalah pemberian nama "Papua Pegunungan," yang dianggap tidak hanya tidak relevan, tetapi juga membawa konotasi buruk. Sebagian besar masyarakat Papua, terutama di luar wilayah pegunungan, memandang istilah ini sebagai penghinaan. Nama ini sering diasosiasikan dengan stereotip negatif seperti anarkisme, kekerasan, dan perilaku destruktif.

Sebaliknya, jika nama-nama wilayah adat seperti Lapago atau Meepago yang digunakan, hal ini akan lebih menghormati identitas lokal dan budaya masyarakat. Sayangnya, keputusan Jakarta tampaknya tidak mempertimbangkan sensitivitas dan realitas budaya di Papua.

Konflik Antara Jakarta dan Lukas Enembe

Dalam perjalanan pembentukan DOB, muncul ketegangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua. Gubernur Papua saat itu, Lukas Enembe, menolak rencana pemekaran provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat Papua.

Enembe memahami bahwa pemekaran provinsi yang berlebihan hanya akan membuka pintu bagi eksploitasi sumber daya alam Papua oleh pihak-pihak luar. Ia juga menyadari bahwa banyaknya provinsi akan menciptakan peluang lebih besar bagi praktik korupsi dan perampasan hak-hak masyarakat adat. Sayangnya, sikap kritis ini justru menjadikannya target politik oleh pihak-pihak tertentu di Jakarta.

Pemekaran Tanpa Kajian Ilmiah

Pemberian nama dan pembentukan provinsi baru di Papua tampaknya tidak melalui kajian ilmiah yang mendalam. Nama-nama wilayah seharusnya mencerminkan filosofi hidup masyarakat dan tradisi yang melekat dalam hukum adat mereka. Nama bukan sekadar label administratif, tetapi juga representasi dari identitas budaya dan nilai-nilai komunitas setempat.

Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Proses pemekaran terkesan tergesa-gesa dan tidak memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Ini mengindikasikan bahwa tujuan utama pemekaran bukanlah untuk kepentingan rakyat Papua, melainkan untuk kepentingan politik dan ekonomi pihak-pihak tertentu.

Dampak Pemekaran terhadap Kehidupan Masyarakat Papua

Pemekaran wilayah yang tidak direncanakan dengan baik berpotensi menimbulkan keretakan sosial di antara masyarakat Papua sendiri. Konflik antarkelompok, perebutan sumber daya, dan ketidakadilan dalam distribusi pembangunan dapat meningkat. Lebih jauh lagi, kebijakan ini dapat memperkuat stigma dan stereotip negatif terhadap masyarakat Papua.

Yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua saat ini bukanlah kekacauan administratif atau keributan politik, melainkan solusi nyata untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pengakuan terhadap hak-hak adat seharusnya menjadi prioritas utama.

Pemekaran provinsi dan kabupaten/kota di Papua, dalam bentuk yang ada saat ini, tidak menunjukkan adanya niat baik dari pemerintah pusat. Sebaliknya, kebijakan ini mencerminkan ketidakpedulian terhadap kebutuhan masyarakat Papua dan potensi eksploitasi sumber daya alam mereka.

Sudah saatnya pemerintah Jakarta mendengarkan aspirasi masyarakat Papua secara jujur dan terbuka. Jika niat baik benar-benar ada, maka pemekaran wilayah harus dilakukan dengan kajian ilmiah yang mendalam, penghormatan terhadap budaya lokal, dan tujuan yang benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.

Oleh Lawe Wandikbo


Post a Comment